Wednesday, September 21, 2011

Maksud Hidup Ummat Akhir Jaman

Maksud Hidup Ummat Akhir Jaman

MAKSUD HIDUP UMMAT AKHIR ZAMAN


Sebuah benda jika tidak digunakan sesuai dengan maksud yang menciptakannya, maka benda ini tidak berguna dan lama-lama akan rusak. Begitu juga manusia, tidak ada gunanya dan akan rusak jika tidak sesuai dengan maksud penciptaannya. Yang mengetahuimaksud hidup manusia, bukanlah isterinya, anaknya, ayahnya, pemerintahnya dsb. Mengapa ? karena mereka tidak mempunyai andil dalam penciptaan manusia.
Maksud hidup manusia adalah
1. Manusia diciptakan untuk ibadah
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, melainkan (hanya untuk) beribadah.” (QS. Adz Dzariyat : 56 )
2. Manusia untuk menjadi khalifah
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan di muka bumi ini khalifah (manusia)” (QS. Al Baqarah : 30 )
3. Manusia untuk ber’amar ma’ruf nahi mungkar dan sebagai naibnya Rasulullah SAW
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia, yaitu untuk ber’amar ma’ruf dan nahi mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran : 110)
Jika manusia berhasil mewujudkan maksud hidupnya, maka akan dijadikan raja-raja di Jannah/Surga. “Jika kamu melihat Jannah seolah-olah adalah kenikmatan dan kerajaan yang besar” (QS. Al Insan: 20).
Keperluan hidup manusia adalah :
1. Makan Minum
2. Rumah
3. Kendaraan
4. Pakaian
5. Pernikahan
Para sahabat Nabi keperluannya rendah tetapi maksud hidup tinggi. Sementara kita memiliki keperluan tinggi tetapi maksud hidupnya rendah. Keseharian kita hanya memikirkan bagaimana mendapatkan keperluan, tetapi para sahabat berpikir untuk selalu mengorbankan keperluan untuk mendapatkan maksud hidup.
Perbedaan orang beriman dengan orang kafir dalam menggunakan keperluan dan maksud hidup adalah :
1. MAKAN MINUM
Orang kafir : Makan dan minum untuk kesehatan dan kekuatan sebagaimana kaum A’ad sehingga mereka berkata : “Siapakah yang lebih kuat daripada Kami ……?”(QS. Fushsihlat: 15)
Orang beriman :
Makan Minum untuk beribadah agar bisa berdiri shalat dan mengerjakan ibadah lainnya. Jika makan dengan cara adab sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka akan diberi pahala oleh Allah.
Makan Minum untuk Khalifah adalah agar bisa berkhidmat kepada sesama. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “jika kalian mengangkat beban saudaramu ke punggung kudanya, maka akan dihitung sedekah, jika kalian mengisi ember saudaramu dengan air maka dihitung sedekah”
2. PAKAIAN
Orang kafir : tujuan menggunakan pakaiannya seperti burung merak yaitu untuk menarik lawan jenis dan untuk dipuji-puji.
Orang beriman :
Untuk Ibadah yaitu menutup aurat karena malu kepada Allah.
Untuk Khalifah yaitu untuk melayani umat sebagaimana kisah Hasan r.a cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memakai pakaian mahal sehingga seorang Yahudi datang kepadanya dan berkata, “Ya Hasan, benarkah engkau cucu Rasulullah ?”
Hasan r.a. menjawab,”Ya, Kenapa ?”
Kata si Yahudi, “mengapa engkau menyelisihi kakekmu dengan berpakaian mewah padahal dunia adalah penjara bagimu dan surga bagi orang kafir?”. Si Yahudi melanjutkan, “kini kau lihat, aku berpakaian compang camping sementara kamu seperti di Surga?”
Hasan r.a. berkata,”Wahai Yahudi, seandainya kamu tahu pakaian apa yang akan kamu dapatkan di neraka, niscaya kamu akan memakai pakaian paling mewah di dunia ini karena tak merasakan lagi di akhirat. Aku memakai pakaian bagus ini agar orang miskin tahu kalau aku orang kaya agar mereka tak sungkan-sungkan meminta sedekah kepadaku.”
Untuk Dakwah, dengan pakaian yang digunakan orang akan mendapat hidayah dan ingat kepada Allah. Itulah sebabnya orang beriman mencontoh pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.
3. RUMAH
Orang kafir :
Rumah untuk kesombongan dan fungsinya hanya untuk restoran (untuk tempat makan keluarga), hotel (tempat tidur/istirahat) , WC (tempat buang air), gallery (tempat menyimpan barang-barang mewah), bioskop mini (tempat nonton TV keluarga), gedung pertemuan keluarga.
Orang beriman:
Untuk ibadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Shalatlah kamu (shalat sunnah) di sudut-sudut rumah kamu niscaya rumah kamu akan dipandang oleh penduduk langit bercahaya sebagimana kamu memandang bintang-bintang di langit.”
Untuk Khalifah, yaitu melayani ummat sebagaimana hadits yang menunjukkan bahwa hak tamu untuk dilayani adalah tiga hari, setelah hari ketiga maka dihitung sedekah.
Untuk Dakwah, yaitu bagaimana orang masuk ke rumah kita mendapat hidayah sebagaimana rumahnya Fatimah binti Khaththab. Umar bin Khaththab masuk ke rumahnya langsung mendapat hidayah, mengapa ? karena di dalam rumah hidup amalan sunnah.
4. KENDARAAN
Orang kafir :
Menggunakan kendaraan hanya untuk menyelesaikan urusan dunia saja, juga sebagai kesombongan dan status sosial.
Orang beriman :
Untuk Ibadah, seperti dipakai untuk pergi ke Masjid, silahturahmi dll.
Untuk Khalifah, yaitu untuk melayani saudara muslimnya, dipinjamkan untuk hajat muslimin
Untuk Dakwah, yaitu untuk berjuang di Jalan Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “seseorang yang memelihara kuda untuk digunakan jihad maka semua makanan, kotoran dan kencingnya dihitung sebagai kebaikan oleh Allah ”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”ada tiga hasil orang memiliki kendaraan, yaitu (1) orang yang mendapatkan Surga dari kendaraannya karena digunakan di jalan Allah. (2) mendapat neraka karena dipakai untuk bermaksiat kepada Allah. (3) tidak memperoleh apa-apa di Akhirat karena hanya digunakan untuk keperluan dunia semata.”
5. PERNIKAHAN
Orang kafir :
Pernikahan mereka hanya untuk menyempurnakan nafsu saja dan mendapatkan keturunan.
Orang beriman :
Untuk Ibadah, sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “orang yang sudah menikah shalat 2 rakaatnya lebih baik dari pada 70 rakaat orang yang belum menikah.”
Untuk Khalifah, yaitu dengan memiliki isteri kita bisa berkhidmat kepada tetangga sebagaimana hadis,”jika kamu masak, perbanyaklah kuahnya dan kirimkan kepada tetangga kamu.”
Untuk Dakwah, yaitu wanita/isteri dapat berdakwah sampai ke dapur-dapur tetangga kita, sedangkan laki-laki hanya sampai depan pintu saja. Kewajiban dakwah termasuk untuk wanita. Do’a-do’a wanita dalam dakwah sangatlah hebat melebihi do’a 70 wali Allah.




http://baasr.wordpress.com/2011/02/03/maksud-hidup-ummat-akhir-jaman/

Benarkah Mujahidin Aliran Sesat dan Mengkafirkan Kaum Muslimin ?

Benarkah Mujahidin Aliran Sesat dan Mengkafirkan Kaum Muslimin ?

 

 http://www.muslimdaily.net/features/6664/benarkah-mujahidin-aliran-sesat-dan-mengkafirkan-kaum-muslimin

 

Diposting pada Ahad, 31-10-2010 | 10:02:19 WIB

Akhirnya negara menggunakan tangan orang-orang yang mengaku sebagai ulama untuk menjinakkan mujahidin, berhasrat merubah aqidah para penyeru tauhid dan jihad dengan segala cara termasuk dengan mendistorsi dan mendangkalkan pemahaman Islam yang sempurna.
Berita yang didapat penulis dari media-media online adalah kerjasama antara PBNU yang dimotori oleh Said Aqil Siradj bersama Ansyaad Mbai yang menjabat sebagai ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan mengirim da’i-da’i untuk mendoktrin dengan pamahaman yang “benar”  tentang Islam menurut versi penguasa.
Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah pemahaman orang-orang yang  dituduh sebagai teroris itu salah, mari kita cari tahu dengan benar dan hati terbuka, bukan sekedar penafsiran yang berlandaskan nafsu dan pesanan kaum kafir yang ingin melemahkan perjuangan kaum muslimin.
Dalam kitab rujukan orang-orang yang dituduh teroris yaitu Dakwah Muqowamah Islamiyah ‘Alamiyah yang ditulis oleh syaikh Abu Mus’ab As-Suri kita akan menyelami aqidah mereka dan kenapa mereka menempuh jalan itu dan benarkah keyakinan mereka itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah atau hanya rekayasa mereka saja untuk membenarkan nafsu mereka.
Agar tidak terjadi kesalah-pahaman dikalangan kaum muslimin dan menuduh dengan membabi-buta bahwa para mujahidin adalah sekte sesat dan terjerumus dalam pemahaman yang mengkafirkan sesama kaum muslimin, maka saya memohon untuk orang-orang yang ikhlas untuk mempelajari aqidah dan manhaj mujahidin, agar masalah ini tidak berlarut-larut dan menimbulkan polemik yang lebih hebat dampaknya kepada Islam dan kaum muslimin.
Dibawah ini adalah terjemahan dari kitab yang saya sebutkan diatas, semoga Allah menambah pahala bagi orang yang menerjemahkannya dan menjadi pencerahan bagi orang yang salah menilai aqidah,manhaj dan tujuan mujahidin yang hari ini difitnah sebagai teroris oleh Amerika dan antek-anteknya –semoga Allah mengalahkan mereka semua-.
Anggaran Dasar Dakwah Muqowamah Islamiyah ‘Alamiyah yang nantinya disingkat dengan (DMIA) terfokus dan dibangun di atas dasar-dasar Aqidah Islam dan Siyasah Syar’iyah yang diselaraskan dengan pemahaman terhadap realita politik umat Islam hari ini, kaidah ’menghindari mafsadah dan meraih maslahat’, fikih dloruroh, mempertimbangkan pilihan prioritas dan memperhatikan sebab akibat yang dibangun di atas pemaham yang detail terhadap kondisi kaum muslimin dan situasi dunia internasional yang ada di sekelilingnya.
Kemudian di sini kami akan memaparkan dasar-dasar Aqidah Jihadiyah Qitaliyah menurut DMIA secara singkat karena pada pembahasan berukutnya akan dijelaskan perinciannya dan dalil-dalil syar’inya untuk poin-poin terpenting pada anggaran dasar tersebut, insya Alloh.
Pasal 1
DMIA bukanlah sebuah partai atau organisasi atau jamaah tertentu dan terbatas. Akan tetapi DMIA adalah seruan terbuka yang misinya adalah melawan Kolonial Salibis-Zionis yang melancarkan agresi terhadap Islam dan kaum muslimin. Sehingga memungkinkan bagi organisasi atau jamaah atau individu manapun yang menerima manhaj, misi dan metode yang ditempuh oleh DMIA untuk bergabung, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pasal 2
Aqidah yang dianut oleh DMIA adalah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dengan segala madrasah dan madzhab fikih yang ada di dalamnya. DMIA adalah sebuah seruan untuk melakukan kerjasama dengan seluruh kaum muslimin yang bersyahadat laa ilaaha illallooh Muhammad Rosululloh, yang meyakini bahwa Al Qur’an adalah kitabnya, ka’bah adalah kiblatnya dan umat Islam adalah umatnya.
Atas dasar itu DMIA melaksanakan jihad bersama Ahlus Sunnah, bekerja sama dengan Ahlul Qiblah (orang yang bekiblat kepada ka’bah / orang Islam) dan meminta bantuan kepada setiap orang yang secara tulus ingin membatu kaum muslimin dalam melawan orang-orang yang melanyerang mereka, yang dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip Siyasah Syar’iyah.
Pasal 3
DMIA meyakini atas disyariatkannya jihad bersama para pemimpin umat Islam dan kaum awamnya, baik yang sholih maupun yang masih sering berbuat dosa, untuk melawan orang-orang kafir yang menyerang kaum muslimin. Dan ini merupakan salah satu prinsip dalam Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Pasal 4
DMIA meyakini bahwa serangan Salibis-Zionis yang dilancarkan terhadap kaum muslimin hari ini adalah sebuah persekutuan yang terdiri dari unsur-unsur berikut:
  1. Yahudi dan kekuatan Zionis internasional yang dipimpin oleh Israel.
  2. Kekuatan Salibis Internasional yang dipimpin oleh Amerika, kemudian Rusia dan Negara-negara yang tergabung dalam NATO, serta Negara-negara Salib lainnya yang bersekutu dengan mereka.
  3. Kekuatan kelompok murtad, yang dipelopori oleh para penguasa dan pemerintah yang ada di Negara-negara Arab dan Islam.
  4. Orang-orang munafiq, yang dipelopori oleh lembaga-lembaga keagamaan pemerintah dan ulama-ulama penguasa, serta para ulama munafiq lain yang mengekor kepada ulama-ulama penguasa tersebut, demikian pula mediamassa-mediamassa dan kelompok-kelompok intelektual yang membantu musuh dalam memerangi kaum muslimin.
Secara ringkas, skema peperangan hari ini adalah:
Yahudi dan Zionis yang dipimpin Israel + Salibis internasional yang dipimpin Amerika, Inggris, Negara-negara NATO dan Rusia + Negara-negara murtad dan kelompok-kelompk sekuler yang memerangi Islam + orang-orang munafiq dari kalangan ulama pemerintah dan para pemikir yang memerangi Islam X kelompok-kelompok jihad bersenjata.
Pasal 5
DMIA menganggap jihad melawan persekutuan internasional yang terdiri dari kaum Yahudi, Salibis, Murtaddin dan Munafiqin ini hukumnya fardlu ’ain bagi setiap muslim yang bersyahadat laa ilaaha illallooh Muhammad Rosululloh, sehingga orang yang melaksanakannya dapat pahala dan orang yang tidak melaksanakannya berdosa.
Pasal 6
DMIA menganggap bahwa jihad dengan senjata (Jihadus Sinan) dan perang adalah sarana utama untuk menghadapi tiga kelompok pertama dalam persekutuan tersebut (yaitu Yahudi, Salibis dan Murtaddin) dan orang-orang yang berperang bersama mereka. Dan DMIA menganggap bahwa jihad dengan penjelasan (Jihadul Bayan) dan kata-kata merupakan sarana utama dalam menghadapi kelompok-kelompok murtad dari kalangan ulama yang berfihak kepada penjajah dan ulama penguasa serta sarana-sarana media massa mereka.
Pasal 7
DMIA menjadikan firman Alloh ta’ala yang berbunyi:
Dan berperanglah di jalan Alloh. Engkau tidak dibebani kecuali kewajibanmu sendiri dan kobarkanlah semangat orang-orang beriman.
… sebagai motto, dan menganggap perang melawan para aggressor dan sekutu-sekutunya, serta mendakwahkannya merupakan kewajiban yang tergantung pada pundak setiap muslim. Dan prinsip DMIA prinsip dalam setiap gerakannya adalah:
DMIA adalah peperangan umat Islam dan bukan hanya peperangan para mujahid pilihan saja.
Pasal 8
DMIA menganggap wujud Amerika dan sekutu-sekutunya yang memerangi kita, di seluruh negeri kaum muslimin pada hari ini adalah target serangan yang syah dalam jihad. Baik wujudnya itu dalam bentuk militer atau diplomasi atau bisnis atau keamanan atau pemikir atau sipil atau bentuk apapun lainnya. Dan DMIA menuntut agar mereka semua segera hengkang, dan mengancam setiap orang yang tidak mau pergi akan dibunuh dan dihabisi.
Pasal 9
DMIA menganggap bahwa seluruh penguasa negeri kaum muslimin yang berwala’ kepada musuh-musuh kaum muslimin, yaitu Amerika dan sekutu-sekutunya dari bangsa Yahudi dan Salibis, menjalankan hukum di Negara-negara kaum muslimin dengan selain hukum yang diturunkan Alloh, dan membuat berbagai hukum selain hukum yang dibuat Alloh untuk mereka, DMIA menganggap mereka adalah orang-orang kafir yang kepemimpinannya batal secara syar’i. Alloh ta’ala berfirman:
Dan barangsiap tidak memustuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh mereka adalah … orang-orang kafir … orang-orang dholim … orang-orang fasiq.
Dan mereka sama sekali tidak termasuk apa yang disebutkan dalam firman Alloh ta’ala:
Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Alloh, taatlah kepada Rosul dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian.
Di sini Alloh ta’ala memerintahkan kepada kita untuk taat kepada ulil amri di antara kita, sementara mereka bukan lagi dari golongan kita, akan tetapi mereka telah menjadi golongan musuh-musuh kita. Hal ini telah Alloh ta’ala terangkan dalam firman-Nya:
Dan barangsiapa berwala’ kepada mereka maka ia termasuk mereka.
Sementara seluruh ahli tafsir dan para ulama’ yang terpercaya mengatakan bahwa bahwa yang dimaksud [termasuk mereka] itu adalah berarti [kafir seperti mereka].
Sebagai mana juga disebutkan dalam sebuah hadits muttafaq ‘alaih, dari Ubadah bin Ash Shomit rodliyallohu ‘anhu, ia berkata:
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, memanggil kami unuk berbai’at. Di antara isi bai’at itu adalah supaya kami mendengar dan taat dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam keadaan susah atau senang dan meskipun (pemimpin itu) lebih mementingkan dirinya daripada kami, dan supaya kami tidak menggulingkan penguasa.
Dan beliau bersabda:
“Kecuali kalian melihat kekafiran nyata yang kalian memiliki keterangan dari Alloh ta’ala.” (HR. Muslim)
Lalu adakah kekafiran yang lebih nyata daripada berwala’ kepada musuh, membantu mereka dalam memerangi kaum muslimin, menempatkan mereka pada perbatasan-perbatasan wilayah kaum muslimin, menyokong mereka dengan personal dan sarana untuk memerangi saudara-saudara seagama mereka?!
Dan adakah yang lebih jelas murtadnya selain orang yang mengatur kaum muslimin dengan hukum orang-orang kafir, merubah ajaran, manhaj dan semua pilar-pilar Islam karena menuruti orang-orang kafir. Sementara itu firman Alloh ta’ala dan sunnah Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat jelas dalam menerangkan hukum menggulingkan, memberontak bahkan membunuh mereka sebagaimana yang diperintahkan Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam:
Barangsiapa berganti agama maka bunuhlah dia.
Dan inilah yang akan kami usahakan pelaksanaannya dengan pertolongan Alloh.
Pasal 10
DMIA menganggap atas batalnya segala perjanjian atau jaminan keamanan atau kesepakatan damai atau jaminan yang diberikan oleh para penguasa negeri kaum muslimin kepada orang-orang kafir. Karena para penguasa itu telah murtad dari Islam dan kepemimpinan mereka telah batal. Dan juga karena mereka adalah orang-orang yang telah memberikan wala’ (loyalitas) nya kepada orang-orang kafir, dan membantu orang-orang kafir dalam memusuhi kaum muslimin. Maka mereka itu tidak memiliki legalitas syar’i ataupun hak memberikan perjanjian atau jaminan keamanan atau kesepakatan damai kepada orangorang kafir, sampai ada pemimpin yang syah berdasarkan syareat, yang memberikan jaminan keamanan sesuai dengan perjanjian-perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan syar’i, serta hubungan timbal balik dalam bingkai syariat Islam.
Pasal 11
Setiap orang yang membantu musuh-musuh kaum muslimin, para aggressor, Amerika dan sekutu-sekutunya dalam memusuhi kaum muslimin, lalu ia berperang bersama mereka, atau membantu mereka dalam memerangi kaum muslimin, atau memberikan petunjuk atau bantuan atau ide atau pendapat yang membantu mereka untuk memusuhi kaum muslimin, maka orang tersebut murtad, kafir, keluar dari Islam, wajib diperangi sampai ia kembali dan bertaubat kepada Alloh.
Dan selama ia dalam pekerjaannya itu maka berlaku baginya hukum-hukum murtad yang berupa batalnya akad nikah, putusnya hak saling mewarisi antara dirinya dan keluarganya yang Islam, kalau mati tidak disholatkan, tidak dikuburkan di pekuburan kaum muslimin … dan semua hukum yang telah dijelaskan secara rinci oleh para ulama ahli fikih mengenai hukum-hukum yang berlaku bagi orang murtad. Dan hukum memerangi mereka itu adalah antara wajib dan boleh. Adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan kaidah-kaidah maslahat dan mafsadat. Dan hendaknya setiap muslim tahu bahwa dengan perbuatan-perbuatan tersebut ia menjadi murtad baik ia diperangi atau dibiarkan oleh mujahidin.
Pasal 12
Semua orang yang membantu pemerintah murtad, dan ikut bersama mereka dalam memerangi kaum muslimin dan mujahidin, dari kalangan tentara, kepolisian dan petugas keamanan, serta orang-orang yang membantu mereka, yang membela mereka dan melaksanakan perintah-perintah mereka dalam membunuh dan memburu mujahidin, kami tidak memfonis kafir setiap indifidunya. Namun mereka semua diperangi karena secara umum mereka adalah kelompok murtad, tanpa melihat siapa di antara mereka yang bodoh, terpaksa dan memiliki takwilan. Terlebih lagi semua orang baik yang jauh maupun yang dekat, yang mengerti maupun yang bodoh, telah menetahui bahwa para penguasa itu berada di barisan Amerika dan sekutu-sekutunya, dan di bawah bendera dan perintahnya dalam memerangi para pemuda Islam yang berjihad.
Pasal 13
DMIA adalah sebuah seruan untuk berjihad melawan para penjajah dan para pendukungnya, dan bukan seruan untuk mengkafirkan kaum muslimin. Maka setiap orang yang bersyahadat laa ilaaha illallooh Muhammad Rosululloh, darah dan hartanya terlindungi kecuai yang menjadi hak Islam, dan kelak hisab nya terserah kepada Alloh. Dan bukanlah tugas DMIA mengahadapi individu-individu kaum muslimin yang sesat dan menyeleweng, memfonis mereka kafir, bid’ah dan fasiq. Karena ini adalah tugas dan tanggung jawab orang yang telah memiliki kemampuan untuk itu dari kalangan da’i dan ulama’, dan bukan pekerjaan DMIA yang tugas dan pekerjaannya diarahkan kepada perang melawan aggressor.
Pasal 14
Strategi yang digunakan oleh DMIA dalam menghadapi tentara-tentara penjajah dan seluruh bentuk eksistensinya di Negara-negara yang memerangi kaum muslimin, serta kepentingan-kepentingan mereka yang ada di Negara-negara kaum muslimin, DMIA menggunakan perang secara offensive (menyerang) dan defensive (membela diri) dengan menggunakan segala bentuk perlawanan bersenjata.
Namun demikian dalam perang melawan para petugas keamanan, tentara dan pendukung-pendukungnya yang ada di negeara-negara kaum muslimin, DMIA menggunakan strategi perang yang bersifat membela diri (defensive) saja, meskipun perang yang mereka lakukan bersifat offensive dan menggunakan berbagai sarana pertahanan dan serangan. Ini semua dilakukan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan yang tidak samar lagi dan bertujuan untuk menyatukan barisan umat Islam untuk melawan para penjajah yang kafir. Juga sebagai bentuk sikap lemah lembut terhadap seluruh umat Islam sampai benar-benar jelas bagi mereka mana yang benar, dan supaya mereka memiliki kesempatan untuk bergabung dengan barisan umat mereka dan melawan musuh umat mereka. Juga untuk menutup celah fitnah dan perang intern yang tidak ada gunanya. Juga untuk menutup celah bagi para da’i sesat dan media massa thoghut untuk membangun tembok pemisah antara mujahidin dan umat Islam secara umum.
Oleh karena itu DMIA mengajak seluruh kelompok jihad dan perlawanan untuk tidak menjadikan tentara, polisi dan petugas keamanan sebagai target pembunuhan di Negara-negara kita, dan mencukupkan diri dengan sebatas membela diri jika mereka hendak mendholimi kita. Dan DMIA mengajak seluruh kelompok jihad dan perlawanan agar tidak membunuh mereka yang tertawan dan terluka, dan agar berbuat baik kepada mereka dan mendakwahi mereka dengan cara yang baik agar bergabung dengan barisan umat Islam dalam memerangi musuhnya. DMIA juga mengajak seluruh petugas keamanan, tentara dan polisi agar tidak mentaati pimpinan mereka dalam melakukan permusuhan kepada kaum muslimin dan dalam membantu orang-orang kafir yang menjadi musuh-musuh kaum muslimin, DMIA juga mengajak mereka untuk memerangi orang-orang kafir yang menjadi musuh-musuh mereka dan dedengkot-dedengkot mereka dari kalangan tokoh-tokoh kemurtadan, bukan malah memerangi kaum muslimin yang tidak berdosa.
Dan ini adalah ijtihad pribadi DMIA berdasarkan kaidah-kaidah maslahat dan mafsadat, dan berdasarkan pelajaran yang diambil dari pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Ini juga merupakan prinsip-prinsip dasar gerakan DMIA setelah prinsip jihad dengan senjata melawan para penjajah siapapun mereka, dan melawan mereka dengan segala sarana yang disyariatkan dan memungkinkan.
(Adapun para tentara yang bekerjasama dengan pasukan penjajah, seperti tentara dan kepolisian di Irak, dan yang semisalnya, seperti tentara India yang memerangi kaum muslimin di Kasymir, maka mereka itu adalah orang-orang murtad yang diperangi sebagaimana para penjajah).
Pasal 15
DMIA berdiri di atas prinsip melawan penjajah yang menyerang agama, jiwa, kehormatan dan harta meskipun penjajah yang menyerang itu seorang muslim. Ini berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shohih:
Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, barangsiapa terbunuh karena mempertahankan darahnya maka ia syahid, barangsiapa terbunuh karena mempertahankan agamanya maka ia syahid, dan barangsiapa terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka ia syahid. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dan juga diriwayatkan bahwa Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa terbunuh karena melawan orang yang akan mendholiminya maka ia syahid. (HR. An Nasa’i)
Dengan demikian DMIA mengajak seluruh mujahidin dan kelompok perlawanan agar tidak menyerahkan diri kepada para tentara thoghut dan kaki tangan penjajah yang hendak memerangi dan menyakitinya. Akan tetapi DMIA mengajak seluruh mujahidin dan kelompok perlawanan untuk memerangi dan membunuh para tentara thoghut dan kaki tangan penjajah tersebut dalam rangka mempertahankan diri, dengan selalu berpegang pada prinsip mempertahankan diri dan tidak merubah sikap dengan jihad melawan mereka secara offensive sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya.
Pasal 16
DMIA menganggap bahwa semua pemerintahan yang didirikan oleh kaum penjajah [sebagaimana yang terjadi di Irak, seperti Dewan Pemerintahan atau Pemerintah yang Ditunjuk], merupakan pemerintah penjajah yang tidak syah yang harus diperangi dan dijatuhkan. Minimal sikap yang wajib diambil terhadap pemerintahan semacam itu adalah diyakini ketidak syahannya dan tidak bekerjasama dengannya. Dan alasan apapun tidak dapat diterima dari orang yang mengaku demi menjaga kemaslahatan Negara dan rakyat, serta mengatur urusan rakyat. DMIA menganggap alasan ini adalah alasan yang batil secara syar’i dan tertolak secara akal. Karena penjajah itu tidak akan mendatangkan selain keburukan dan tidak akan pernah rela kepada siapapun sampai ia mau mengikuti ajarannya, sebabaimana firman Alloh ta’ala:
Dan tidak akan pernah rela orang-orang Yahudi dan Nasrani kepadamu sampai engkau mengikuti ajaran mereka. (Al Baqoroh: 120)
Pasal 17
Oleh karena DMIA meyakini atas kafir dan murtadnya para penguasa yang menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan Alloh, yang berwala’ (loyal) kepada musuh-musuh kaum muslimin, sebagaimana seluruh penguasa yang ada di negeri kaum muslimin pada hari ini. Maka DMIA menganggap bahwa berkerja sebagai anggota 3 lembaga pemerintah, yaitu:
  1. Eksekutif, yaitu pemerintah dan kementrian,
  2. Legislatif, yaitu Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat atau Majlis Permusyawaratan Rakyat,
  3. Yudikatif, yaitu pengadilan-pengadilan yang memutuskan perkara dengan selain hukum yang diturunkan Alloh.
… adalah pekerjaan haram dan merupakan perbuatan kekafiran, yang pelakunya minimal berdosa atau kafir, hal itu disesuaikan dengan tanggungjawab dan pekerjaannya, serta sejauh mana unsur kebodohan dan takwil ada pada dirinya. Hal itu akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya insya Alloh. Dan DMIA mengajak seluruh umat Islam, khususnya para ulama’ dan aktifis Islam, agar menjauhi thoghut yang berupa para penjajah dan orang-orang murtad. DMIA juga mengajak mereka semua agar tidak membikin sesat kaum muslimin dengan keberadaan mereka di dalam sistem thoghut tersebut.
Pasal 18
DMIA menganggap bahwa prinsip-prinsip demokrasi adalah kekafiran kepada Alloh ta’ala, DMIA meyakini bahwa prinsip-prinsip tersebut bertentangan dengan konsekuensi-konsekuensi laa ilaaha illallooh, dan DMIA menganggap bahwa mengajak orang untuk menganut prinsip-prinsip tersebut serta mengamalkannya merupakan perbuatan kekafiran yang pelakunya berdosa, yang mana dosanya bisa sampai tingkatan keluar dari Islam. Itu semua disesuaikan dengan tabiat keyakinannya terhadap prinsip-prinsip tersebut, jenis pekerjaan yang ia lakukan, dan sejauh mana unsur kebodohan dan takwil yang ada pada dirinya.
DMIA juga mengajak seluruh aktifis Islam agar tidak ikut-ikutan dan mendakwahkan Demokrasi, baik dengan cara bekerjasama dengan pemerintah penjajah atau pemerintah murtad. DMIA juga mengajak kepada kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan di dalamnya, memboikotnya dan tidak ikut memberikan suara kepada orang yang mengaku akan melakukan perbaikan ataupun pengrusakan melalui sistem demokrasi. DMIA juga mengajak kepada para aktifis Islam dan para da’i penyeru reformasi untuk menyalurkan aktifitasnya melalui lembaga-lembaga swasta non pemerintah dan ormas-ormas sipil di berbagai bidang kegiatan politik, sosial, keilmuan dan lain-lain yang memiliki misi reformasi, dengan menghindari hal-hal  yang mengotori kegiatan dengan masuk dalam sistem kafir. Tujuannya adalah menjauhi thoghut dan memboikot golongan pengrusak dan pengkhianat, baik secara sosial maupun politik di berbagai bidang.
Pasal 19
DMIA menganggap segala usaha yang dilakukan orang-orang yang tulus dalam gerakan Islam, baik yang bersifat dakwah, reformasi, ilmiyah, keagamaan dan lainnya, merupakan usaha yang dibenarkan secara syar’i. Dan yang dilakukan oleh seluruh aliran gerakan Islam, dari jamaah Tabligh, Salafi, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan aliran-aliran gerakan Islam lainnya, demikian pula usaha yang dilakukan oleh para ulama, da’i dan reformis yang independen, di seluruh lapangan gerakan Islam, merupakan gerakan yang patut disyukuri dalam menjaga agama kaum muslimin dan memperbaiki kondisi mereka. Dan DMIA mengajak mereka semua untuk saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan, serta dalam mendukung gerakan perlawanan (jihad). DMIA juga menganggap usaha yang mereka lakukan dalam berdakwah merupakan usaha yang mendukung dan memperkuat akar-akar perlawanan (jihad) di tengah-tengah umat dan melindungi unsur-unsurnya. DMIA mengajak mereka semua untuk melupakan titik-titik perbedaan kaum muslimin pada periode ini, dan mengkonsentrasikan pada bahaya yang tengah mengancam di seluruh bidang kebudayaan.
DMIA juga mengingatkan kembali akan keyakinannya bahwa berjihad dengan senjata melawan kaum penjajah Salibis dan Yahudi, serta orang-orang yang loyal dan membantu mereka, atau berperang bersama mereka, merupakan kewajiban syar’i yang hukumnya fardlu ‘ain bagi setiap muslim yang mampu dan tidak termasuk golongan orang-orang yang memiliki udzur syar’i. Yang mana kewajiban itu tidak dapat digugurkan oleh perbuatan-perbuatan baiknya yang lain, sebagaimana zakat tidak menggugurkan kewajiban sholat.
Pasal 20
DMIA menganggap setiap muslim yang bersyahadat laa ilaaha illalloh Muhammad Rosululloh dalam berbagai madzhab dan kelompok, mereka berada dalam lingkaran Islam secara umum yang disebut oleh para fuqoha’ dengan istilah Ahlul Qiblah. Dan DMIA menyerahkan penyelesaian semua perselisihan baik dalam persoalan aqidah, madzhab dan kelompok kepada para ulama’, yang dilakukan dengan cara dialog yang benar, penjelasan yang bijaksana dan nasehat yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh ta’ala:
Jika kalian berselisih pendapat mengenai persoalan apapun maka kembalikanlah kepada Alloh dan Rosul.
DMIA juga mencegah terjadinya kekacauan dan peperangan antar umat Islam. Dan mengajak semua kaum muslimin Ahlul Qiblah dari berbagai madzhab, jamaah maupun indifidu untuk saling bekerjasama dalam melawan aggressor dan dalam jihad melawan musuh yang kafir yang menyerang negeri kaum muslimin. DMIA mengajak semuanya untuk menjauhi hal-hal menyulut perseteruan intern, di mana pada saat sekarang ini tidak akan ada yang mengambil manfaat darinya selain musuh yang kafir yang menyerang negeri kaum muslimin.
Pasal 21
DMIA menganggap semua ajaran aliran sekuler baik itu komunisme, sosialisme, demokrasi, nasionalisme dan lain-lain yang merupakan penisbatan diri kepada pemikiran dan keyakinan selain agama Islam dan identitas Islam, DMIA menganggapnya merupakan ajaran kafir dan sesat, yang kadar kekafirannya masing-masing ditimbang dengan timbangan syariat. Akan tetapi DMIA menganggap bahwa mayoritas dari para penganut paham-paham tersebut adalah umat Islam yang bodoh terhadap ajaran agamanya dan tertipu pemikirannya, sebagai dampak dari usaha penyebaran cara berfikir Barat dan perang kebudayaan yang tengah melanda umat Islam. Selain itu banyak di antara mereka yang masih memendam simpati terhadap Islam dan rasa hormat terhadap unsur-unsurnya, sebagaimana mereka juga memendam permusuhan terhadap kaum penjajah, dan keinginan yang tinggi untuk melawan aggressor. DMIA juga mengajak seluruh aliran gerakan Islam dan seluruh kalangan perlawanan Islam untuk melakukan dialog secara baik di kalangan mereka. DMIA juga mengajak seluruh kelompok nasionalis dan para pemuka umat ini untuk mengkaji ajaran agama mereka dan memahaminya dengan sebenar-benarnya, saling tolong-menolong untuk berjihad melawan kafir penjajah dan melawan orang-orang yang bekerjasama dengan mereka, dan berkumpul di bawah syiar Islam untuk mempertahankan kaum muslimin, dan mempertahankan agama dan kebudayaan mereka.
Pasal 22
DMIA menganggap setiap orang Islam yang bersyahadat laa ilaaha illallooh Muhammad Rosululloh adalah orang yang darah dan hartanya dilindungi kecuali yang sudah menjadi hak Islam sedangkan kelak hisab nya terserah kepada Alloh. DMIA menganggap darah seorang muslim termasuk darah yang paling dihormati, dan menjaganya termasuk kewajiban dan perintah yang paling agung yang syariat Islam sangat tegas dalam persoalan ini.
DMIA menganggap apa yang disebutkan dalam sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pada khutbah wada’ yang berbunyi:
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini. Dan kalian akan bertemu dengan Robb kalian lalu kalian akan ditanya tentang amalan kalian. Ingatlah, jangan sekali-kali kalian sepeninggalku kembali kafir, di mana sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain. Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.
Apa yang disebutkan di sini merupakan undang-undang ilahi dan nash nabawi yang qoth’i, yang menyeru kepada setiap muslim secara umum dan terkhusus kepada setiap mujahid untuk melindungi darah, kehormatan dan harta setiap muslim.
DMIA juga mengajak kepada setiap mujahid fi sabilillah yang mengerahkan segala kemampuannya, jiwa dan hartanya di jalan Alloh, dan memerangi orang-orang kafir penjajah dari kalangan Salibis dan Zionis, serta seluruh sekutunya, untuk melaksanakan firman Alloh ta’ala:
Wahai orang-orang beriman apabila kalian keluar berjihad di jalan Alloh, hendaknya kalian teliti. An Nisa’: 94)
DMIA juga mengajak mereka berhati-hati agar berusaha jangan sampai menyakiti setiap muslim. Hendaknya mereka bertaqwa kepada Alloh dan merenungkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:
Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah lalu ia mati, maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah. Dan barangsiapa berperang di bawah bendera fanatisme golongan, sehingga ia marah karena kelompoknya dan menyeru kepada kelompoknya, atau membela kelompoknya, lalu ia terbunuh maka ia terbunuh sebagaimana orang jahiliyah. Dan barangsiapa keluar kepada umatku, memukul mereka baik yang sholih maupun yang fajir, dan tidak berhati-hati terhadap orang yang beriman di antara mereka, dan tidak memenuhi janjinya maka ia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. (HR. Muslim)
Pasal 23
DMIA menganggap bahwa semua penganut agama selain Islam yang menjadi warga negara di Negara-negara kita, seperti orang-orang Kristen dan yang lainnya, mereka adalah penduduk yang dijamin oleh Syariat Islam hak kewarganegaraannya dan hak untuk tinggal di tengah-tengah kaum msuimin, dalam bingkai kaidah-kaidah syar’i yang telah dipahami dan dirinci. Mereka diperlakukan sesuai dengan itu semua ketika syariat Alloh berlaku dan ketika ada Imam yang muslim.
Adapun sekarang, DMIA tidak menganggap mereka itu adalah target operasi dalam jihad selama mereka tidak bekerjasama dengan para aggressor. Akan tetapi jihad itu hanya diarahkan kepada para aggressor dari golongan Salibis dan Zionis, serta orang-orang yang bersekutu dengannya meskipun ia mengaku Islam. DMIA juga menyeru mereka yang menganut selain agama Islam, yang menjadi penduduk asli itu, untuk mengungkapkan penolakan mereka terhadap penjajahan dan kelompok aggressor, dan agar menyerukan umat agamanya masing-masing supaya tidak bekerja sama dengan para penjajah. Selain itu DMIA juga mengajak mujahidin agar tidak membuka front sampingan dengan para penganut agama lain itu yang akan memecah konsentrasi umum terhadap jihad melawan penjajah.
Pasal 24
DMIA menganggap bahwa medan jihad yang pokok dalam memerangi Amerika dan sekutu-sekutunya dari bangsa Salib dan Zionis adalah Negara-negara kaum muslimin yang dijajah oleh para penjajah tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung di mana di sana pasukan dan kamp-kamp militer mereka bercokol. Atau Negara-negara yang dilewati baik darat, laut maupun udaranya. Dan di mana di sana terjadi perampasan dan penjajahan ekonomi, tersebar berbagai lembaga penjajah yang bergerak dibidang keamanan, politik, kebudayaan dan lain-lain. Ini merupakan misi kaum penjajah yang harus dijadikan target operasi oleh mujahidin di seluruh Negara kaum muslimin.
Pasal 25
DMIA menganggap bahwa peperangan yang dilancarkan oleh DMIA pada dasarnya adalah terhadap Negara-negara yang masuk dalam persekutuan penjajah Salibis-Yahudi yang dipimpin oleh Amerika. Dan DMIA menganggap setiap Negara yang bekerjasama dengan mereka dalam urusan perang dan membantu mereka dalam memusuhi kaum muslimin, merupakan target operasi bagi DMIA, terutama adalah Negara yang tergabung dalam NATO yang memiliki kesepakatan pertahanan bersamanya. DMIA juga mengarahkan target operasinya kepada setiap Negara yang memusuhi kaum muslimin di negara manapun dan di tempat manapun. Adapun Negara-negara kafir yang tidak terlibat dalam memusuhi Islam dan kaum muslimin, maka bukanlah target operasi dan serangan bagi DMIA.
Pasal 26
DMIA menganggap bahwa pada dasarnya perang yang dilancarkannya adalah melawan pemerintahnya dan bukan melawan rakyatnya, sehingga ketika DMIA menganggap bahwa Negara-negara kaum muslimin itu merupakan medan jihad dan pertahaman utama, DMIA menyeru mujahidin agar melancarkan jihadnya melawan pemerintah dan Negara-negara penjajah, serta sekutu-sekutunya di Negara mereka, berdasarkan ketentuan-ketentuan dasar syar’i yang menjadi diperintahkan oleh kaidah-kaidah syariat Islam dan hukum-hukum jihad, dan dibangun berdasarkan hasil-hasil yang ditimbulkan oleh operasi, berupa maslahat dan mafsadat bagi Islam dan kaum muslimin. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah:
1. Tidak melancarkan serangan terhadap sasaran umum di Negara-negara yang memerangi Islam kecuali dalam batasan terror dan membalas dengan cara yang setimpal, dan tidak menjadikannya sebagai sasaran pokok dan medan jihad utama, karena medan jihad yang utama adalah mempertahankan negeri kaum muslimin.
2. Berhati-hati agar sebisa mungkin tidak membunuh kaum wanita dan anak-anak kafir, demikian pula orang-orang yang disebutkan dalam nash-nash syar’i agar tidak menjadikan mereka sebagai sasaran pembunuhan, seperti pendeta dan tempat-tempat ibadah, dan juga berhati-hati agar sebisa mungkin tidak membunuh orang-orang sipil yang tidak terlibat dalam perang, apabila mereka berada pada posisi terpisah, semaksimal mungkin.
Dan memfokuskan serangan pada saat melakukan penyerangan yang bertujuan terror dan membalas dengan cara yang setimpal di Negara mereka pada target-target militer, politik dan perekonomian, dengan tetap menjaga agar jangan sampai mengenai orang-orang yang bukan menjadi sasaran yaitu orang-orang yang telah disebutkan di atas, semaksimal mungkin.
Pasal 27
DMIA mengajak mujahidin, organisasi-organisasi jihad dan kelompok-kelompok perlawanan agar memfokuskan usahanya untuk menghadapi penjajah yang datang dari luar, dan tidak membuka front melawan pemerintah murtad dan pengkhianat yang ada di Negara-negara kaum muslimin, dalam suatu revolusi yang menyeluruh sesuai dengan pemikiran-pemikiran lama aliran jihad, meskipun kita telah yakin bahwa mereka telah murtad, dan hanya membatasi serangan kepada pentolan-pentolan kemurtadan dari kalangan pemimpin-pemimpin kekafiran, karena mereka melakukan kerjasama dengan kaum penjajah yang melakukan agresi dari luar. Itu semua tujuannya adalah untuk menyatukan seluruh kekuatan dalam mengusir penjajah yang mana setelah kita menang atas ijin Alloh, seluruh kelompok pengkhianat di negeri kita secara otomatis akan tumbang bersamaan dengan tumbangnya kaum pennjajah, insya Alloh.
Pasal 28
DMIA mengajak para ujahidin dan seluruh kelompok perlawanan agar tidak menyibukkan diri dengan perang terhadap fenomena-fenomena kerusakan, kefasikan, kemaksiatan, kebid’ahan, penyelewengan agama dan lain-lain yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, dengan menggunakan aksi-aksi jihad. Karena fenomena-fenomena ini merupakan penyakit yang secara otomatis muncul dengan berkuasanya para thoghut yang dipaksakan dan disokong oleh kekuatan kafir penjajah yang melakukan agresi dari luar. Dan hendaknya diperhatikan 3 perkara penting berikut:
1. Haramnya darah seorang muslim meskipun ia fasiq atau bermaksiat, berapapun banyaknya kefasikan dan kemaksiatan yang ia lakukan, selama ia belum kafir.
2. Pelaksanaan hukum hudud dan hukum-hukum syar’i terhadap indifidu-indifidu muslim yang melanggarnya merupakan hak seorang Imam syar’i yang memiliki kekuasaan, sementara sekarang tidak ada. Akan tetapi misi DMIA setelah berhasil mengusir penjajah adalah melaksanakannya hukum-hukum tersebut.
3. Sekarang ini targetnya dan kewajibannya yang paling utama adalah mengusir kafir penjajah dari Negara-negara kaum muslimin.
Pasal 29
Serangan Salibis terhadap Negara-negara kita, selain mengandalkan kekuatan militer yang mendukung dan berperang bersamanya, ia juga mengandalkan 2 pendukung penting, yaitu:
  1. Para da’i yang pro dengan penjajah, yang menyambut kedatangan mereka dan mendakwahkan pemikiran-pemikiran dan kebudayaan mereka, dan selalu memojokkan Islam dan para da’inya.
  2. Para penyeru yang menyerukan kepada kebejatan moral, kefasikan dan kedunguan, juga menyebarluaskan budaya ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan perempuan), perzinaan dan perbuatan-perbuatan mesum dengan dalih kebebasan hak asasi manusia, dan hidup ala Amerika.
Mereka ini kebanyakan dari kalangan budayawan, penulis, pemikir, seniman, jurnalis, penyair, sastrawan dan tokoh-tokoh media …
DMIA mengajak seluruh mujahidin untuk menghabisi pentolan-pentolan para da’i yang pro penjajah tersebut dan pimpinan-pimpinannya. Juga pentolan-pentolan para penyeru yang menyerukan kepada kebejatan moral yang bekerja untuk menyebarluaskan perbuatan-perbuatan mesum di tengah-tengah orang-orang beriman.
Alloh ta’ala berfirman:
Dan jika mereka melanggar janji setelah mereka mengikatnya, dan mereka mencela agama kalian maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran. (At Taubah: 12)
Dan Alloh ta’ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin menyebarkan perbuatan mesum di tengah-tengah orang-orang beriman bagi mereka adalah siksa yang pedih. (An Nur: 19)

Syaikh Al-Awlaki Muncul Dalam Video, Serukan Pembunuhan Orang Amerika!

Syaikh Al-Awlaki Muncul Dalam Video, Serukan Pembunuhan Orang Amerika!

Hanin Mazaya
Selasa, 9 November 2010 13:07:19
Hits: 212
(Arrahmah.com) – Ulama kharismatik kelahiran AS yang kini diyakini berada di Yaman, menyerukan pembunuhan orang Amerika dalam pesan video terbaru yang diposting di situs Islam pada Senin (8/11/10).
Anwar Al-Awlaki mengatakan Amerika adalah “partai setan” dan tidak memerlukan izin agama khusus untuk membunuh.
Dalam pesan berbahasa Arab dengan durasi kurang lebih 23 menit dan berjudul “Make it Known and Clear to Mankind”, Syaikh al-Awlaki juga menyebut semua pemimpin Arab dan Yaman adalah pemimpin korup, sudah saatnya ulama yang memimpin.
“Raja, emir, dan presiden yang sekarang tidak memenuhi syarat untuk memimpin atau bahkan terhadap sekawanan domba,” ujarnya.
“Jika pemimpin korup, maka para ulama memiliki tanggung jawab untuk memimpin bangsa.”
Video itu memperlihatkan syaikh al-Awlaki mengenakan pakaian tradisional Yaman dengan belati di sabuknya dan duduk di belakang meja.
Pengamat ahli AS mengatakan ceramah al-Awlaki telah menjadi inspirasi utama untuk sebuah serangan “militan”, termasuk kemungkinan orang Pakistan yang mencoba meledakkan bom mobil di Times Square beberapa waktu lalu.
Ia juga memiliki kontak melalui email dengan salah satu psikiater militer AS yang melakukan penembakan terhadap 13 tentara di basis Fort Hood, Texas, Mayor Nidal Hasan. (haninmazaya/arrahmah.com)

Wanita Pilihan Allah SWT

Wanita Pilihan Allah SWT

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.” (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima).
Dan dalam sabdanya yang lain;
“Dunia adalah kesenangan sementara, dan sebaik-baiknya kesenangan dunia adalah wanita (istri) yang sholehah.”. (Muslim, an nasa’i)
Banyak sekali ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah yang mengajarkan kaum wanita,  agar mereka dapat menjadi wanita pilihan Allah, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia.
Tentunya, dengan waktu yang singkat tidaklah mungkin kita hadirkan kajian ayat dan hadits yang sangat banyak sekali jumlahnya …, tetapi dengan sangat mudah kaum wanita dapat bercermin melalui ciri-ciri akhlaq mereka..
Beberapa ciri yang umum dari akhlaq wanita pilihan Allah adalah ;
Sebelum menikah, wanita sholehah akan selalu menjaga dirinya, ia tidak akan membuka satu hubungan khusus, kecuali jika ia mengetahui bahwa lelaki tersebut hendak meminang dirinya.  Aqidah islam, kepahaman dan akhlaq calon suami, merupakan modal dasar dari kriterianya. Wanita sholehah tidak akan memperlihatkan auratnya pada kaum pria yang dilarang oleh syariat , dirinya tidak akan pula membiarkan bagian tubuhnya disentuh, walau hanya berjabat tangan oleh lelaki yang bukan muhrimnya dan yang tidak memiliki kepentingan.
Dalam proses perkenalan atau ta’aruf ia tidak akan membiarkan dirinya berdua-duaan dengan kaum pria. Menjawab salam, tidak berbicara kecuali hal yang mengarah pada kebaikan. Tidak menjatuhkan kehormatan dan martabatnya dengan memberikan peluang kepada kaum pria untuk mempermainkan dirinya. Tidak meminta harta maupun barang apapun selain kesungguhan calon suami untuk mempercepat proses akad nikah.
Dan..pada saat menikah dan setelahnya, ciri wanita sholehah tercermin dari akhlaq mereka ;
Menerima mahar sesuai dengan kesanggupan calon suaminya, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Wanita yang paling banyak berkahnya adalah mereka yang paling mudah maharnya”. (Ahmad dan Baihaqi).
Senantiasa taat dan melayani suami mereka selama perintah mereka tidak bertentangan dengan perintah agama. Mendahulukan kepentingan suami dari pada kepentingan dirinya. Dapat menjadi pendengar yang baik, lemah lembut dalam berbicara, menghibur, mendorong hati suami ketika dalam kesulitan dan kesedihan, memberikan ketenangan dalam rumah tangga, dan senantiasa memperhatikan penampilan, kebersihan, kecantikan dan menjaga kesehatan dirinya, dan istiqomah dalam beribadah…
Ketika suami tidak dirumah, dirinya tidak akan pernah memperbolehkan lelaki yang tidak dikenal atau lelaki yang tidak disukai oleh sang suami masuk ke dalam rumahnya. Menjaga harta suami adalah bagian dari tugas istri yang sholeh, mengatur harta rumah tangga dengan tidak berlebihan dan tidak juga kikir adalah hal yang dianjurkan dalam agama. Menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, menyediakan makanan yang sesuai dengan selera suami, memperhatikan seluruh kebutuhan suami, adalah bentuk pengabdian yang selalu bernilai pahala.
Sebesar apapun, ia senantiasa bersyukur atas apa yang diberikan oleh suaminya, tidak banyak mengeluh, sabar dalam menerima keterbatasan suami, tidak meminta sesuatu yang lebih dari kemampuan suaminya, menghormati orang tua suami, memperlakukan mereka dengan sikap terbaik, pemaaf dan pengertian, adalah sifat yang senantias ditunjukkannya.
Jika ia bekerja, maka ia akan menjaga dirinya dalam pergaulan, menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia, yang dapat mengantarkan dirinya dalam kemaksiatan. Memberikan sedekah kepada keluarga dari hasil pekerjaannya. Wanita sholeh adalah panutan dari anak-anaknya, mereka akan memberikan teladan yang terbaik bagi anak-anaknya, sabar dalam mendidik anak, tidak mengeluarkan perkataan yang tidak patut di contoh oleh anak-anak…
Setidaknya, inilah ciri-ciri akhlaq wanita sholehah..tentunya, kesholehan itu tidak datang sendirinya, ia memerlukan proses…
kehidupan dunia dan akhirat..Dan wanita sholehah tentunya akan memilih lelaki pilihan Allah, yang bersama-sama mengantarkan dirinya melalui proses tersebut.. agar mencapai keberkahan dalam
Wallahu’alam.



http://blogfirman.wordpress.com/2010/01/17/wanita-pilihan-allah-swt/

Is the Caliphate an Extreme Islamic goal?

Is the Caliphate an Extreme Islamic goal?

The word ‘extreme’ only takes on meaning when defined against some benchmark. ‘Extreme’ weather is a serious departure from a normal, expected climate; extremely hot or cold water is defined as such when compared against, say, lukewarm. The word is relative and defined in relation to some ‘norm’. Ideas are not different.


So to the question - is the Caliphate an extreme ‘Islamic’ goal - Islam is the benchmark against which the Caliphate’s normality is measured. Is the Caliphate a serious departure from Islam, an outlier belief that represents an extreme from the norm of Islamic orthodoxy?

There is of course an altogether different question posed by the west in which ‘extreme’ is measured not in relation to Islam, but to the west, or liberal secular democracy. That’s where on the rare occasion it is accompanied with some definition. In most cases, ‘extreme’ is not qualified and used simply to brand Islamic ideas as beyond the pale.

To the first question, whether the Caliphate is extreme when compared with Islam, this can be answered from a doctrinal, legal and historical perspective.

Historically, the Caliphate dominates some 94% of Islamic history. It formally came to an end in 1924 CE; the first Caliph was elected some 1300 hundred years prior in 632 CE. Despite its strengths and weaknesses, peaks and troughs, the historical norm was for Muslims to live with a Caliphate. So deeply established was it historically, some academics believe the current weakness of Muslim nation states is a consequence of the deep roots and trans-national nature of the Caliphate and ummah that now challenge post-colonial borders. On the occasion of its termination, confusion reigned, prayers suspended, people grappled to assume its title from Egypt to the Sharif of Mecca, and movements formed almost immediately to secure its restoration. If the Caliphate represented an extreme, what explains its dominance in Islamic history and the deep sense of loss and impact that accompanied its collapse?

Legally, the Caliphate represents the executive authority charged with the implementation of the Shariah. Jurists throughout Islamic history, from as early as Shaybani’s Siyar (a treatise on international relations), Abu Yusuf’s Kitab al Kharaj through Mawardi’s ahkam al Sultaniyah to the multitudes through the centuries, have written extensively on the role, rights and remit of the Caliphate. The institution of the Caliphate is foundational to Islamic law. Whilst much is made of ‘hudud’ punishments by the west, the fact these can only be administered by a state is often totally missed. Islamic Law has always recognised Islam’s temporal jurisdiction: classically its scope comprises ibadat - personal worships - and mu’amalat - temporal law. The Shariah therefore that not only addresses morality, rituals, person and family, but comprises a vast body of law relating to state and society. Furthermore, rather than an outlier, classical Islamic law considers the Caliphate an ‘obligation’ on Muslims to ensure it exists. The classical jurist Abu Hanifa, founder of the school of law followed by 70% of Sunni Muslims, described the Caliphate as the ‘mother’ of all Islamic obligations. This may explain ongoing demands for its restoration - these being not just a function of its ‘appeal’ but because it represents a core Islamic requirement.

Doctrinally, Islamic belief considers the notion of God’s sovereignty an essential aspect of Tawhid, the belief in one God. Whilst the agent of human reasoning attempts to understand the law and apply it, the origin of law is divine and the sole legitimate reference in the resolution of disputes and law. Islamic law rests upon this premise and explains its character and scope.

Unfortunately for the west, these are not the arguments of ‘islamists’. Each can be verified independently against the classical, orthodox books of law and theology. Whilst some may de-prioritise the Caliphate, consider it too difficult to form immediately, or choose to defer its establishment, these are a function of practical considerations not a challenge to the requirement of governing according to Islam under a Caliphate. Those who have attempted to challenge this requirement directly have found themselves ostracized from classical Islamic learning, whether by the Ulema or the people at large. Examples of such attempts are therefore not many, but Ali Abdul Razzaq’s represent one of the more recent and public (although that was a century ago). Even modernisers have avoided challenging this core requirement, choosing instead to re-define or re-interpret its form.

Dr Noah Feldman in his book “The Fall and Rise of the Islamic State” in the chapter “What Went Right?’ describes how many in the Muslim world consider the Islamic State: “if one notices that for thirteen hundred years, Islam provided the dominant language of politics in the middle east...then the re-emergence of Islam looks like the return to the norm.”

As for the question posed by the west, that needs to be addressed separately. But suffice to say here, just as the west describe the Caliphate extreme in relation to western values, many Muslims describe western moral, social and economic values and decay extreme when compared to Islamic values. Clearly the approach is relative, and concludes no more than the obvious fact that Islam and secular liberal democracy are different. It’s time we move beyond the labels and assess the substance of each set of claims.


 http://islamicsystem.blogspot.com/2010/12/is-caliphate-extreme-islamic-goal.html

More Deception – Aspartame Has A New Name

More Deception – Aspartame Has A New Name

The Coaching Pair“In response to growing awareness about the dangers of artificial sweeteners, what does the manufacturer of one of the world’s most notable artificial sweeteners do? Why, rename it and begin marketing it as natural, of course.”  Ethan Huff
How aware are you of the aspartame in the food you’re eating?
But the result is as bitter as poison, sharp as a double-edged sword.  (Prov. 5:4; NLT)
If you’ve followed any of what I’ve written over the past few years, you know that one of my main “soapbox” arguments revolves around the dangers of aspartame. I will tell all who will listen (and even those who won’t) about this evil, artificial poison. It is now found in nearly 6,000 consumer foods and beverages, including (but not limited to) diet sodas and other soft drinks, instant breakfasts, cereals, chewing gum, cocoa mixes, frozen desserts, gelatin desserts, laxatives, pharmaceutical drugs and supplements, shake mixes, and yogurt.
There is insurmountable research and proof that aspartame is a neurotoxin and is poisonous to the body. So, as the author of today’s quote says, “What does the manufacturer of one of the worlds’ most notable artificial sweeteners do? Why, rename it and begin marketing it as natural, of course.”
Aspartame is now called Amino Sweet. There — now doesn’t that sound natural and nice? It is common knowledge that aspartame was developed by an accidental discovery from a chemist who was attempting to produce an anti-ulcer pharmaceutical drug. Upon combining two amino acids, aspartic acid and phenylalanine (which are never combined in nature), he discovered a compound that tasted sweet.
Ethan Huff, a citizen journalist recently published an article revealing this name change. Rather than post the entire lengthy article, I’ll quote some of the most relevant information Huff has to say.
“The tides have been turning as the general public is waking up to the truth about artificial sweeteners like aspartame and the harm they cause to health. The latest aspartame marketing scheme is a desperate effort to indoctrinate the public into accepting the chemical sweetener as natural and safe, despite evidence to the contrary.
“Despite the myriad of evidence gained over the years showing that aspartame is a dangerous toxin, it has remained on the global market with the exception of a few countries that have banned it. In fact, it continued to gain approval for use in new types of food despite evidence showing that it causes neurological brain damage, cancerous tumors, and endocrine disruption, among other things.
“The details of aspartame’s history are lengthy, but the point remains that the carcinogen was illegitimately approved as a food additive through heavy-handed prodding by a powerful corporation with its own interests in mind.
“Changing aspartame’s name to something that is “appealing and memorable,” in Ajinomoto’s [manufacturer of aspartame] own words, may hoodwink some but hopefully most will reject this clever marketing tactic as nothing more than a desperate attempt to preserve the company’s multi-billion dollar cash cow. Do not be deceived.”

LETTER FROM EUROPE

LETTER FROM EUROPE

Rule No.1 for Dictators: Don't Blink

By ALAN COWELL Published: January 22, 2011


PARIS - If they want to survive, dictators don't blink. If they seem vulnerable, they are lost. In unforgiving times, when international courts seek to bring miscreant leaders to justice, simply walking away is not an option.In 1989, Nicolae Ceaucescu of Romania took a startled step backward in the face of a hostile crowd. The iron grip that had kept him in absolute power for 24 years dissolved. Within days, he and his once-powerful wife, Elena, were dead, summarily executed by soldiers whose loyalty had simply evaporated.This month, in Tunisia, President Zine el-Abidine Ben Ali suffered a less terminal but comparable fate. Confronting protests and demonstrations, and with at least 78 people killed on the streets, he first offered to leave office in 2014 - a symbolic step backwards - then fled, his 23-year rule brought to an astonishingly rapid end. He had not wanted to go, the Arabic news channel Al Arabiya reported, but the head of his security detail told him the presidential palace in Tunis was about to be stormed by the hostile masses. If a contrast were needed, consider Ivory Coast, where President Laurent Gbagbo, backed by his military, has utterly refused to leave office despite an election awarded to his opponents. He did not blink.In the welter of coverage and the tumult on the streets following Mr. Ben Ali's departure, many analysts have ruminated on where the next domino might tumble among the autocratic, embedded elites of the Middle East; where the deadly cocktail of discontent, deprivation and access to the digital-era weapons of protest and communication might once again coalesce again in this forlorn region."The Arab soul," said Amr Moussa, the secretary general of the Arab League, "is broken by poverty and unemployment."



 But, as Mr. Ben Ali's flight into exile in Saudi Arabia showed, revolutions are not only the consequence of the protesters' resolve, or of their access to the stirring imagery of Al Jazeera television, or calls to arms on Twitter or Facebook. They are a question, too, of a regime's readiness and ability to push back, to meet opponents with resistance, maneuver and firepower.Just along the coast from Tunisia, the Libyan strongman, Muammar el-Qaddafi, said he was "very pained" by the ouster of his neighbor. Many regimes in the region held their silence but pursued cautious steps to ease economic strains for their restive people. Perhaps the most telling and - on the face of it, baffling - reaction came from Tehran, where 228 of the 290 members of the Iranian Parliament offered strong support to "the revolutionary movement of the brave Tunisian people."That might have given some observers pause. In the decades since the Islamic Revolution of 1979, Iran has hardly seemed an exemplar of regime change. After the disputed 2009 presidential elections, when protesters took to the streets in much larger numbers than those in Tunis, insisting that the vote had been stolen, President Mahmoud Ahmadinejad offered what seemed a textbook model of determination not to blink. Security forces flooded the streets; comprehensive measures to stifle, punish and undercut dissent, from censorship to show trials, reinforced physical repression.It was taken as an indication of Tehran's self-confidence in recent weeks that, while turmoil in Tunisia inspired several regional governments to lower food and other prices, Iran proceeded with a broad array of measures to cut subsidies on fuel and essential goods. While there have been fissures within the elite of the Islamic Revolution, there never seemed to be any question - at least not one acknowledged in public - of wavering in the face of revolt.




 Of course, there are many differences, perhaps most significantly in the loyalty and firepower of the Iranian security forces compared to Tunisia's much smaller army. And there were many other lessons from Tunisia's rapid change, perhaps most notably relating to the role - or lack of it - played by such key outsiders as France, the former colonial ruler, or the United States. Both had seen Mr. Ben Ali's regime as a bulwark against Islamic militancy, and that evoked old memories.In the long years of the Cold War, the West routinely buttressed unsavory regimes from Africa to Asia in its ideological contest with the Soviet Union. Now, Islamic terrorism has supplanted Communism as the global adversary.In Tunisia, diplomatic cables released by the WikiLeaks anti-secrecy organization revealed that, much as American diplomats were aware of the self-enrichment of the country's first family, and the resentment it inspired among the populace, they also cherished Mr. Ben Ali's resolve to suppress Islamic dissent in the name of confronting terrorism.Now, though, in the clamor for new elections in Tunisia, Islamic leaders, once banned, are talking of returning from exile. The country's political direction is up for grabs - perhaps giving pause to Western geopolitical players as they look to the autocratic giants the Arab world, Saudi Arabia and Egypt, to react kindly to their regional ambitions. As the conflict in Iraq showed, the abrupt unraveling of dictatorships unleashes forces that cannot be predicted.In the end, iron rule comes down to power and guile, to the ability to install a protective coterie of loyalists and outwit nascent opposition. In the struggle against democracy, fear works best in tandem with co-option.




 As Rami G. Khouri, a prominent writer and commentator in Beirut put it, "Tunisia exposed exactly how thin was the police-based rule of the Ben Ali regime, which crumbled rapidly when it met sustained domestic resistance. "Some other Arab leaders, whether monarchs or lifelong presidents or something in between, would not flee the country so quickly, but instead would put up a fight to stay in power, partly because they have stronger organic links to major constituencies in society that Ben Ali did not." Contemplating the fragile crust of the southern Mediterranean, Ian O. Lesser of the German Marshall Fund wrote: "A new revolt in Algeria, should it come, holds the potential for another protracted and bloody conflict between extremists and a military-backed state." In Libya, too, "the prospects for relatively nonviolent change are not good."For the powerful, this is not the time to blink at all.

Tuesday, September 20, 2011

The Quran on Human Embryonic Development

The Quran on Human Embryonic Development

  Editor’s Pick  In the top 20 of viewed articles  
Description: The miracle of embryonic development is mentioned in the Quran in such minute detail, much of which was unknown to scientists until only recently.  It mentions the first stages of life after conception, the second stage of life after conception, and witnesses of scientists about these scientific facts of the Quran.
By islam-guide.com
Published on 02 Mar 2006 - Last modified on 13 Mar 2011
Viewed: 76912 (daily average: 38) - Rating: 4.3 out of 5 - Rated by: 165
Printed: 2214 - Emailed: 378 - Commented on: 7

Category: Articles > Evidence Islam is Truth > The Scientific Miracles of the Holy Quran
Category: Articles > The Holy Quran > The Scientific Miracles of the Holy Quran

In the Holy Quran, God speaks about the stages of man’s embryonic development:
“We created man from an extract of clay.  Then We made him as a drop in a place of settlement, firmly fixed.  Then We made the drop into an alaqah (leech, suspended thing, and blood clot), then We made the alaqah into a mudghah (chewed substance)…” (Quran 23:12-14)

Literally, the Arabic word alaqah has three meanings: (1) leech, (2) suspended thing, and (3) blood clot.
In comparing a leech to an embryo in the alaqah stage, we find similarity between the two[1]  as we can see in figure 1.  Also, the embryo at this stage obtains nourishment from the blood of the mother, similar to the leech, which feeds on the blood of others.[2]
Figure 1: Drawings illustrating the similarities in appearance between a leech and a human embryo at the alaqah stage. (Leech drawing from Human Development as Described in the Quran and Sunnah, Moore and others, p. 37, modified from Integrated Principles of Zoology, Hickman and others.  Embryo drawing from The Developing Human, Moore and Persaud, 5th ed., p. 73.)

The second meaning of the word alaqah is “suspended thing.”  This is what we can see in figures 2 and 3, the suspension of the embryo, during the alaqah stage, in the womb of the mother.

Figure 2: We can see in this diagram the suspension of an embryo during the alaqah stage in the womb (uterus) of the mother. (The Developing Human, Moore and Persaud, 5th ed., p. 66.)

Figure 3: In this photomicrograph, we can see the suspension of an embryo (marked B) during the alaqah stage (about 15 days old) in the womb of the mother.  The actual size of the embryo is about 0.6 mm. (The Developing Human, Moore, 3rd ed., p. 66, from Histology, Leeson and Leeson.)

The third meaning of the word alaqah is “blood clot.”  We find that the external appearance of the embryo and its sacs during the alaqah stage is similar to that of a blood clot.  This is due to the presence of relatively large amounts of blood present in the embryo during this stage[3]  (see figure 4).  Also during this stage, the blood in the embryo does not circulate until the end of the third week.[4]  Thus, the embryo at this stage is like a clot of blood.


Figure 4: Diagram of the primitive cardiovascular system in an embryo during the alaqah stage.  The external appearance of the embryo and its sacs is similar to that of a blood clot, due to the presence of relatively large amounts of blood present in the embryo. (The Developing Human, Moore, 5th ed., p. 65.)

So the three meanings of the word alaqah correspond accurately to the descriptions of the embryo at the alaqah stage.
The next stage mentioned in the verse is the mudghah stage.  The Arabic word mudghah means “chewed substance.”  If one were to take a piece of gum and chew it in his or her mouth and then compare it with an embryo at the mudghah stage, we would conclude that the embryo at the mudghah stage acquires the appearance of a chewed substance.  This is because of the somites at the back of the embryo that “somewhat resemble teethmarks in a chewed substance.”[5] (see figures 5 and 6).

Figure 5: Photograph of an embryo at the mudghah stage (28 days old).  The embryo at this stage acquires the appearance of a chewed substance, because the somites at the back of the embryo somewhat resemble teeth marks in a chewed substance.  The actual size of the embryo is 4 mm. (The Developing Human, Moore and Persaud, 5th ed., p. 82, from Professor Hideo Nishimura, Kyoto University, Kyoto, Japan.)

Figure 6: When comparing the appearance of an embryo at the mudghah stage with a piece of gum that has been chewed, we find similarity between the two.
A)        Drawing of an embryo at the mudghah stage.  We can see here the somites at the back of the embryo that look like teeth marks. (The Developing Human, Moore and Persaud, 5th ed., p. 79.)
B)        Photograph of a piece of gum that has been chewed.

How could Muhammad, may the mercy and blessings of God be upon him, have possibly known all this 1400 years ago, when scientists have only recently discovered this using advanced equipment and powerful microscopes which did not exist at that time?  Hamm and Leeuwenhoek were the first scientists to observe human sperm cells (spermatozoa) using an improved microscope in 1677 (more than 1000 years after Muhammad).  They mistakenly thought that the sperm cell contained a miniature preformed human being that grew when it was deposited in the female genital tract.[6]
Professor Emeritus Keith L. Moore[7]  is one of the world’s most prominent scientists in the fields of anatomy and embryology and is the author of the book entitled The Developing Human, which has been translated into eight languages.  This book is a scientific reference work and was chosen by a special committee in the United States as the best book authored by one person.  Dr. Keith Moore is Professor Emeritus of Anatomy and Cell Biology at the University of Toronto, Toronto, Canada.  There, he was Associate Dean of Basic Sciences at the Faculty of Medicine and for 8 years was the Chairman of the Department of Anatomy.  In 1984, he received the most distinguished award presented in the field of anatomy in Canada, the J.C.B. Grant Award from the Canadian Association of Anatomists.  He has directed many international associations, such as the Canadian and American Association of Anatomists and the Council of the Union of Biological Sciences.
In 1981, during the Seventh Medical Conference in Dammam, Saudi Arabia, Professor Moore said: “It has been a great pleasure for me to help clarify statements in the Quran about human development.  It is clear to me that these statements must have come to Muhammad from God, because almost all of this knowledge was not discovered until many centuries later.  This proves to me that Muhammad must have been a messenger of God.”[8] (To view the RealPlayer video of this comment click here).
Consequently, Professor Moore was asked the following question: “Does this mean that you believe that the Quran is the word of God?”  He replied: “I find no difficulty in accepting this.”[9]
During one conference, Professor Moore stated: “....Because the staging of human embryos is complex, owing to the continuous process of change during development, it is proposed that a new system of classification could be developed using the terms mentioned in the Quran and Sunnah (what Muhammad, may the mercy and blessings of God be upon him, said, did, or approved of).  The proposed system is simple, comprehensive, and conforms with present embryological knowledge.  The intensive studies of the Quran and hadeeth (reliably transmitted reports by the Prophet Muhammad’s companions of what he said, did, or approved of) in the last four years have revealed a system for classifying human embryos that is amazing since it was recorded in the seventh century A.D.  Although Aristotle, the founder of the science of embryology, realized that chick embryos developed in stages from his studies of hen’s eggs in the fourth century B.C., he did not give any details about these stages.  As far as it is known from the history of embryology, little was known about the staging and classification of human embryos until the twentieth century.  For this reason, the descriptions of the human embryo in the Quran cannot be based on scientific knowledge in the seventh century.  The only reasonable conclusion is: these descriptions were revealed to Muhammad from God.  He could not have known such details because he was an illiterate man with absolutely no scientific training.”[10] (View the RealPlayer video of this comment).